Bekal Pertama
Tidak seperti biasa, hari ini aku
bangun lebih pagi dari biasanya. Aku yang biasanya baru masak setelah subuh,
ini jam tiga sudah “glutak-glutuk” di dapur. Pasalnya, hari ini addalah hari
pertama suamiku bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia itu. Bekerja
di sana merupakan salah satu impiannya sejak masih SMA. Iya, suamiku adalah
teman SMA-ku. Kita juga tidak menyangka akan menikah akhirnya. Karena kita
tidak berpacaran ataupun memiliki ikatan apa sebelumnya. Hanya sebatas teman
sekelas saja. Kami dipertemukan kembali setelah kami sama-sama lelah melalang
buana ke mana-mana. Kami bertemu di salah satu pernikahan teman sekelas kami. Dari
situ kami kembali menjalin komunikasi. Dan tanpa waktu lama, hanya tiga bulan
setelahnya kami pun menikah.
Di kampung, tentu saja cukup
membuat kami bingung. Beruntung tak berapa lama setelah kami menikah,
perusahaan minyak terbesar yang ada di kota kami membuka lowongan pekerjaan. Ya,
mungkin inilah rizki yang Allah janjikan bagi orang-orang yang ingin
menyempurnakan agamanya. Suami pun mendaftar. Aku hanya bisa mendoakan yang
terbaik. Singkat cerita setelah melalui serangkaian seleksi, suamiku pun
terpilih sebagai salah satu karyawan di sana.
Setelah pengumuman itu, kami pun
pindah ke kota. Kebetulan ada kenalan lama yang membantu mencarikan rumah. Sehingga
kami cepat mendapatkan rumah. Rumah kami sangat sederhana, hanya ruang tamu,
dapur, kamar mandi dan dua buah kamar, yang mana satu kami jadikan gudang untuk
sementara. Masih berantakan, dan belum ada isinya.
Kami lama tidak berjumpa, tentu
kebersamaan ini serasa sangat canggung bagi kami. Kami masih saling belajar
satu dengan yang lainnya. Masih saling menyesuaikan, karena kami telah banyak
berubah. Di hari yang special ini aku bermaksud untuk membuatkan suami bekal,
bekal sederhana. Sebelum Tahajud, aku menanak nasi terlebih dahulu. Baru setelah
selesai sholat memasak sayur dan lauknya, serta menatanya rapi di dalam kotak. Kami
pun sarapan dengan menu sisa bekal yang kubuat. Nasi putih, udang asam manis,
tumis caisin dengan tahu, serta nugget goreng. Aku sudah lama tidak masak, aku
baru mulai belajar masak lagi setelah menikah, selama di perantauan ya apa-apa
beli.
Selesai sarapan, dibarengi senyum
termanis yang aku punya, aku serahkan bekal tersebut bersama dengan teh Rosella
yang masih hangat dalam botol termos. Dia pun mengecup keningku dan berlalu
pergi. Tak lupa kubisikkan pesan agar dia selalu mencari rizki yang halal saja.
Aku sangat bahagia dengan bekal
yang kulakukan hari ini. Setelah suami berangkat kerja, aku segera beres beres
rumah, terus Dhuha’an dan istirahat. Baru duduk sebentar sudah ada yang mengetuk
pintu dengan keras, dan kelihatannya penting, siapa kiranya. Aku pun segera
berlari membuaka pintu. Asing orang yang berdiri di depan pintu.
“Iya, ada yang dapat saya bantu, Pak?”
“Ibu, Ibu Ira isterinya Bapak Pramudya yang bekerja di Pertamina yang baru itu kan?”
“Iya betul Pak, ada apa nggih?”
“Ibu, saya Pak Kaswan, sopir peusahaan, ini ID Card saya. Suami Ibu sekarang ada di klinik perusahaan. Monggo, Ibu ikut bersama saya, saya antarkan. Saya ke sini ditugaskan untuk menjemput Ibu.”
“Baik Pak, saya ambil kunci dan kunci rumah dulu.”
“Baik, saya tunggu di mobil nggih.”
“Ibu, Ibu Ira isterinya Bapak Pramudya yang bekerja di Pertamina yang baru itu kan?”
“Iya betul Pak, ada apa nggih?”
“Ibu, saya Pak Kaswan, sopir peusahaan, ini ID Card saya. Suami Ibu sekarang ada di klinik perusahaan. Monggo, Ibu ikut bersama saya, saya antarkan. Saya ke sini ditugaskan untuk menjemput Ibu.”
“Baik Pak, saya ambil kunci dan kunci rumah dulu.”
“Baik, saya tunggu di mobil nggih.”
Aku pun berlari ke kamar menyambar
kunci dan tas yang berisi dompet. Tak ketinggalan HP di ruang tamu. Secepat yang
kubisa, segera aku menuju mobil yang terparkir di tepi jalan depan rumah. Kami pun
segera melaju menuju perusahaan. Hatiku tak karuan. Ada apa? Mas tadi waktu
berangkat tidak terlihat sakit sama sekali, dia baik-baik saja. Dia juga tidak
mempunyai penyakit berbahaya setahuku.
Beruntung jalan tidak begitu padat,
karena sudah masuk jam kantor. Kurang lebih seperempat jam kami sudah tiba di
perusahaan. Setelah selesai memparkirkan mobil, Pak Kaswan pun menghantarkanku
ke klinik perusahaan. Nampak suamiku terbaring lemah di atas kasur. Aku pun
masuk. Disambut oleh dokter yang menangani. Beliau menjelaskan bahwa suamiku
tidak apa-apa, hanya terkena alergi saja, alergi yang sangat parah. Dokter mengatakan
bahwa suamiku tidak boleh mengkonsumsi semua jenis protein hewani. Aku kaget. Aku
tidak mengetahuinya. Dan suami juga tidak mengatakan apa-apa.
Setelah dokter menjelaskan semuanya,
mereka pun keluar. Aku menghampiri suamiku sembari berlutut di samping dipan
dan meminta maaf atas kesalahanku. Aku menangis.
“Maafkan aku, Mas!”
“Bangun-bangun, kamu tidak salah saying, aku yang salah yang tidak memberitahumu.”
“Tapi,… aku harusnya tahu. Bukankah sejak dulu kamu tidak pernah mencicipi masakan. Hanya mencium aromanya saja untuk memutuskan akan memakannya atau tidak. Maafkan aku yang tidak paham dengan apa yang terjadi selama ini.”
“Sudah, sudah, tidak apa-apa. Jangan menangis lagi, malu terdengar oleh orang lain.”
“Tapi kan ini hari pertamamu bekerja di sini.”
“Tidak apa-apa, nati aku bisa bekerja kembali setelah istirahat. Tadi sudah aku sampaikan kepada pihak perusahaan untuk tidak perlu menjemputmu ke sini, tetapi mereka malah tetap menjemputmu. Katanya karena dekat, tidak apa-apa.”
“Sudah, sudah jangan menangis lagi!”
“Terima kasih, sudah menjadi suami yang baik bagiku. Maafkan aku yang belum baik bagimu. Tapi aku berjanji akan terus belajar agar lebih baik.”
“Bangun-bangun, kamu tidak salah saying, aku yang salah yang tidak memberitahumu.”
“Tapi,… aku harusnya tahu. Bukankah sejak dulu kamu tidak pernah mencicipi masakan. Hanya mencium aromanya saja untuk memutuskan akan memakannya atau tidak. Maafkan aku yang tidak paham dengan apa yang terjadi selama ini.”
“Sudah, sudah, tidak apa-apa. Jangan menangis lagi, malu terdengar oleh orang lain.”
“Tapi kan ini hari pertamamu bekerja di sini.”
“Tidak apa-apa, nati aku bisa bekerja kembali setelah istirahat. Tadi sudah aku sampaikan kepada pihak perusahaan untuk tidak perlu menjemputmu ke sini, tetapi mereka malah tetap menjemputmu. Katanya karena dekat, tidak apa-apa.”
“Sudah, sudah jangan menangis lagi!”
“Terima kasih, sudah menjadi suami yang baik bagiku. Maafkan aku yang belum baik bagimu. Tapi aku berjanji akan terus belajar agar lebih baik.”
Dia memelukku hingga reda tangisku.
Setelah tangis reda, aku berniat untuk pamit ke dokter dan segera pulang. Tetapi
malah dokter menyuruh suami untuk istirahat saja dulu di rumah, baru mulai
bekerja besok saja. Kami pun akhirnya pulang bersama, diantar oleh Pak Kaswan. Motor
suami ditinggal di perusahaan. Aku sangat bersyukur, suami mendapatkan tempat
kerja yang baik, orangnya pun baik-baik.
“Terima kasih, Mas. Aku sangat beruntung terpilih untuk
mendampingimu.” Syukurku dalam hati sambil menatap wajahnya yang masih duduk
kesakitan di sampingku.
Keren nyah
BalasHapusmasih kaku nyah, masih harus banyak belajar,...
Hapusdibimbing ya nyah,...